Kenapa Kita Cemburu Pada Masa Lalu?

Kenapa kita cemburu pada masa lalu?

Saya tidak bisa berhenti memikirkan pertanyaan ini selama beberapa hari. Ini bermula dari cuitan seorang teman di Twitter yang bertanya pada followers-nya, “Lebih cemburu pada yang mana, mantannya pacar atau pacar barunya mantan?”

Kontemplasi pun bermula dari pertanyaan spesifik tersebut, yang lingkupnya memang perihal cinta-cintaan. Saya dengan bodohnya mulai menelisik diri sendiri, meski tahu bahwa mengurai kesadaran itu menyebalkan. Hal-hal yang sebenarnya sudah otomatis, terjadi di subconscious line, dan terasa ‘natural ya memang begitu adanya dari sananya’, ternyata toh terjadi karena prakondisi-prakondisi yang tersebar dalam sejarah kecil kita masing-masing. Kadang apa yang kita temukan perih dan pedih, dan mengurainya ibarat menabur garam pada luka.

Jadi, saya lebih cemburu pada yang mana: pacar barunya mantan atau mantannya pacar? Dalam konteks waktu yang spesifik, yaitu sekarang, saya punya mantan tapi tidak punya pacar. Namun setelah ditanya, dipikir, dirasa, dan ditimbang, ternyata saya tetap cemburu pada yang telah lalu daripada yang kini ada atau yang akan datang. Cemburu. Bukan lebih atau lebih sering. Dus, saya terintimidasi bukan saat melihat mantan pacar sudah bersama orang lain, tetapi justru dengan kenangan pacar bersama mantannya. Pada setiap artifak yang terlacak, pada nama dan cerita yang terucap, pada ingatan yang memang mengendap.

Saya ingin menelisik bukan hanya masa lalu pacar, tetapi juga tentang masa lalu itu sendiri.

Yang unik dari masa lalu, menurut saya, adalah bahwa kita sebenarnya tak pernah benar-benar mengetahuinya dengan gamblang. Bahkan mungkin kita tidak benar-benar pernah mengalaminya; hanya separuh saja atau seberapun tapi tak pernah penuh. Dengan kata lain, masa lalu tak kurang misterius ketimbang masa depan. Seperti halnya fakta sejarah yang punya banyak versi narasi, masa lalu mungkin carut marut. Tinggal dari keinginan siapa ia dikisahkan. Lalu yang tertinggal yang bisa kita lakukan hanya memberinya makna, agar ia tak sekedar menjadi peristiwa tak berjiwa.

Saya teringat pada film Midnight in Paris yang disutradari Woody Allen. Dalam film tersebut, sang tokoh utama yang berkeliaran di Paris pasca tengah malam dapat pergi ke masa silam (time travel) dan bertemu dengan para seniman besar masa lampau yang ia idolakan: Fitzgerald, Hemingway, Dali, Picasso, dan lainnya. Gil Pender, nama sang tokoh, berpelesiran dari abad 21 (tahun 2010) ke abad 20, masa di mana para seniman tersebut berjaya. Yang menarik dari film ini yaitu bagaimana sebuah generasi ternyata terjerat romantisme dengan era yang sudah lewat. Gil memuja semangat zaman 1920-an dengan segala kecemerlangan para senimannya, sampai ia mendapati bahwa Adriana—kekasih Picasso—merasa bosan dengan era tersebut dan beranggapan 1890-lah golden age yang sesungguhnya. Lebih jauh lagi, seniman 1890-an yang Gil dan Adriana temui, seperti Henri de Toulouse-Lautrec dan Paul Gauguin menganggap semangat generasi zaman itu ‘kosong dan kehilangan imajinasi’. Dan golden age versi mereka adalah masa Renaissance!

Gil jatuh cinta pada Adriana. Adriana pun menyukai Gil. Namun Adriana memilih tinggal di tahun 1890 dan Gil memutuskan kembali ke masa kini. Saya telah bertemu beberapa orang; kami adalah Gil di suatu waktu dan Adriana di waktu lain.

Saya kadang juga berandai-andai hidup di era yang sudah lewat; di masa kolonial maupun pascakolonial. Misalnya, saya sering membayangkan hidup di zaman saat trem masih menjadi alat transportasi yang keren, saat Puncak masih berupa hutan yang belum diperkosa vila dan bantaran Ciliwung tidak meluap serta belum dibeton. Barangkali saya bisa cukup beruntung mengenal sang bohemian Chairil Anwar, dekat dengan sosok seperti Trimurti, atau menjadi kroco apapun itu asalkan terlibat dalam perjuangan. Kalau hidup pada masa demokrasi terpimpin, akankah saya ikut dalam rombongan pemuda yang menggulingkan Orde Lama, melihat orasi Soe Hok Gie dan yang lainnya? Atau kalau hidup di era Orde Baru, bagian apa yang akan saya ambil dalam perjuangan Reformasi? Saya seringkali larut dalam romantisme ini itu, padahal toh itu cuma perkara waktu, perkara masa. Yang terguling dari setiap masa hanyalah figur, bukan ketidakadilan itu sendiri. Perjuangan masih panjang dan abadi.

Lantas sebenarnya, romantik atau cemburu yang menjerat kita pada masa lalu? Bagi saya keduanya hadir berbarengan, sebagai kontradiksi yang niscaya. Seperti halnya saya menyadari bahwa apa yang saya cela juga saya dambakan. Bahwa yang ingin saya tinggalkan sebenarnya ingin saya dekap erat. Hiruk pikuk media sosial, kesuksesan, kebahagiaan—dalam standar dunia, juga cinta.

Maka sampai di sini, saya benci ketika sampai pada pengetahuan dan kesadaran akan siapa atau apa yang lebih saya cemburui. Perihal mantan bagi saya berkaitan dengan ingatan, dan siapa  bisa menghapus ingatan? Di masa ini, ingatan dan saya tinggal bersama, tanpa saya tahu akankah suatu saat nanti kami saling menyiksa.

Upaya saya mengurai pertanyaan ‘masa lalu’ ini agak terbantu usai menelusuri laman mesin pencari Google. Sebuah tulisan di The Guardian spesifik membahas tentang lovers past.

Whatever it is, it is a feeling more complex than mere jealousy—it is fascination mingled with curiousity mingled with dread.

[……]

…it’s the unknown that scares and tempts us. What exactly do we fear from our partner’s past?

Namun pada bagian akhir justru tertulis,

Knowing everything about someone can be dull, and there’s nothing more antithetical, more detrimental to love than dullness. Maybe we all need that fear, that last vestige of the unknown to keep us guessing, keep us trying, keep us together.

Dalam konteks lebih general, to keep us alive. Mungkin kita memang perlu hidup dari ketidaktahuan. Sembari mencari tahu. Sembari merayakan cemburu.

 

Post-scriptum:

Namun apa sih yang benar-benar kita tahu? Dari orang lain, dari dunia ini, bahkan dari diri kita sendiri?

the-false-mirror.jpg
The False Mirror (1928), Rene Magritte

7 thoughts on “Kenapa Kita Cemburu Pada Masa Lalu?

  1. Mungkin kita memang perlu hidup dari ketidaktahuan. Sembari mencari tahu. — dan tetap dalam ketidaktahuan. Niscaya kita menikmati masa lalu dan masa kini tanpa beban. Semestinya begitu. Jika keadaan memungkinkan.

    Like

  2. saya baru nonton semalam.
    saya pikir si gilnya berhalusinasi atau berimajinasi saja.
    akhirnya tadi lihat genrenya fantasy, eh ternyata dia benar2 ketemu sama tokoh itu

    Like

Leave a comment