Musim Rasa Takut

Rasa takut itu datang kembali. Ibarat tiba musim, barangkali kini saatnya setelah ia berkeliling. Terlalu banyak yang saya pikirkan hari-hari ini, seperti tiga dan sembilan tahun silam mungkin. Setiap kali rasa jeri datang ketika hidup di persimpangan, gamang memutuskan arah.

Ini saat saya mengingat diri sebenarnya begitu rapuh. Trauma masa lampau menyeruak, mengungkit luka. Rasa tidak beruntung itu muncul dan susah payah saya berusaha melipur lara. Tiba-tiba terkenang jelas pikiran masa kanak-kanak ketika saya bertanya mengapa dilahirkan di dunia–kala itu sambil meraba kulit lengan yang anehnya terasa asing seperti bukan tubuh sendiri.

Kini saya sudah di usia ketika Kurt Cobain memilih mengakhiri hidupnya. Saya tak berniat mengikuti jejaknya. Saya bukan siapa-siapa untuk bisa memilih better to burn out than to fade away. Hanya saja, saya mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini.

Apakah bisa hidup berguna bagi orang lain–meski sedikit saja–lewat pekerjaan yang saya geluti? Apakah bisa pergi ke tempat-tempat impian? Apakah bisa hidup cukup hingga tak perlu khawatir akan hari esok?

Saya kerap merasa keinginan untuk bermanfaat itu amatlah semu–sesuatu yang lebih didasari ego ketimbang niatan tulus. Sampai sekarang, keputusan saya akan hasrat ini pun belum sepenuhnya terurai.

Aduh Tuhan. Mengapa kesusahan sudah terlihat padahal belum terjadi? Tahun depan sudah terasa tak akan gampang. Sedang saya di sini bertanya-tanya bagaimana harus bertahan.

Leave a comment