Suatu Agustus di Sumba Timur

Pertengahan Agustus tahun lalu, saya berada di Sumba Timur, NTT. Menginap di sebuah tempat berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Waingapu atau kurang 20 menit perjalanan dengan motor atau mobil. Dari sana, saya mondar-mandir ke beberapa desa di bagian timur, seperti Wanga (yang terdekat dari Waingapu), Patawang, Melolo, hingga Pahunga Lodu. Dalam perjalanan ke desa-desa yang berjarak sekitar 1-3 jam itu, saya ditemani seorang Rambu, beberapa Umbu, dan beberapa anak muda. Kami menumpangi mobil—yang saya sudah lupa mereknya apa—tapi yang pasti double cabin warna hitam.

Kedatangan ke Sumba Timur itu dalam rangka sebuah liputan tentang perjuangan masyarakat adat Marapu melawan perusahaan tebu yang merampas tanah adat tempat ritual mereka. Barangkali ini cerita yang jamak terdengar di nusantara ini, tapi bukan berarti ia kehilangan arti dan relevansi. Apalagi, mereka melawan perusahaan milik orang kaya, besar, dan terkenal di negeri ini. Saya tidak akan membahasnya di sini, sebab cerita selengkapnya sudah terpublikasi pada September 2020.

Saya lebih ingin cerita tentang perjalanan di sana, hal-hal yang tak terekam dalam tulisan pekerjaan. Ini sekadar untuk merawat ingatan saya sendiri yang lama-lama niscaya memudar.

Yang bikin agak menyesal, lebih dari satu pekan saya di sana memang benar-benar habis untuk bekerja. Saya tidak sempat melihat sunset di pantai atau menikmati sepi di hutan—seperti ajakan kenalan di sana. Saya cuma sempat menginjak Pantai Londa Lima ketika hari sudah malam. Waktu itu hari Sabtu, dua hari sebelum saya kembali ke Jakarta. Kami baru kembali dari Pahunga Lodu dan Melolo. Di Melolo, kami menemui narasumber kunci, mantan raja setempat yang sudah sangat sepuh dan tak bisa lagi berkomunikasi. Untungnya, anaknya bersedia menerima kami.

Sudah petang waktu kami meninggalkan Melolo. Seorang Umbu sempat menyarankan untuk mampir ke Pantai Walakiri. Namun, beberapa anggota rombongan lainnya tak sepakat karena langit sudah gelap, tak ada yang bisa dilihat, katanya. Umbu itu pun tertidur di perjalanan hingga kami lanjut saja sampai tempat tinggal. Sebagai gantinya, saya bilang ingin beli eskrim yang enak di Waingapu. Mungkin kasihan kepada saya yang tak sempat pelesir, sembari menemani mencari Magnum, dia mengarahkan driver ke Pantai Londa Lima.

Saya senang akhirnya menginjak pasir pantai dan mendengar suara ombak. Meski sebenarnya saya takut pada laut, apalagi saat gelap, rasanya tetap bahagia membiarkan kaki basah oleh sisa ombak yang menepi dan mendengar derunya. Beberapa menit saja kami di sana sebelum akhirnya kembali.

***

Saya berangkat dari Jakarta dengan penerbangan pagi. Sejak sekitar pukul 03.00 WIB saya sudah di Bandara Soekarno-Hatta, sempat makan mie instan dan tertidur-tidur di kursi tunggu. Dunia sudah dilanda pagebluk, saya pergi berbekal hasil rapid test (ketika itu masih menjadi alat testing meski sudah banyak yang bilang tak akurat), memakai masker, dan face-shield dari maskapai. Saya mengenakan sepatu berkelir pink dan celana merah Eiger, kaus garis-garis, dengan rambut pendek yang saya potong sendiri malam sebelumnya karena tak sempat ke salon.

Pesawat Jakarta-Bali cukup menerapkan protokol jarak satu kursi. Namun dari Ngurah Rai ke Umbu Mehang Kunda, tak ada jaga jarak di dalam pesawat. Memang pesawatnya jenis baling-baling yang lebih kecil. Saya menunggu beberapa waktu hingga jemputan tiba. Cuaca sangat cerah dan matahari di atas kepala.

Begitu Rambu yang menjemput tiba, kami makan di Rumah Makan Jawa di Waingapu. Rambu seorang yang sangat ramah, tak canggung mengobrol dengannya meski baru bertemu. Ia meminta saya tak menginap di hotel sekitar Waingapu karena khawatir soal keamanan.

Sebelum mengantar ke tempat saya menginap, Rambu mengajak ke kebun seorang Abang—lagi-lagi saya lupa nama tempatnya. Kami melihat kebun sayur di sebuah cekungan antar bukit-bukit. Saya ingat bunga kol yang merebak dengan indahnya. Lalu kami ke pondokan atau semacam rumah (karena ukurannya cukup besar) milik abang tersebut, masih di kawasan itu. Kami makan jagung rebus yang manis sembari merokok.

Sampai di sini saya lupa, apakah kebun itu dulu yang kami kunjungi atau rumah seorang Umbu yang juga anggota Dewan di Waingapu. Kalau di sana, saya disuguhi sirih pinang dan kopi hitam. Saya belajar mengunyah sirih pinang selama di Sumba Timur, dan bersyukur tak pernah mabuk karena itu 😀

(Setelah saya lihat galeri foto di ponsel–ternyata saya ke rumah Umbu anggota Dewan terlebih dulu sebelum ke kebun sayuran. Saya mengecek ponsel–yang sudah berjam-jam saya hindari agar tak terlalu adiktif–karena ingin menyelipkan beberapa foto.)

Liputan baru dimulai hari-hari setelahnya, tanpa jeda. Saya bangun pagi untuk bersiap-siap sembari menunggu yang lain. Kalau akan ke desa atau ke hutan, biasanya saya sudah mandi malamnya agar tinggal membasuh muka dan menggosok gigi pagi harinya. Ini karena saya punya masalah tak bisa mandi dengan cepat.

Karena pergi dalam rombongan, memang pergerakan tak bisa secepat yang saya bayangkan. Namun tak apa, saya merasa sangat banyak dibantu. Saya juga belajar banyak dari mereka semua. Jujur, setiap kali bertemu masyarakat adat saya selalu was-was. Saya takut tanpa sadar berbicara atau bertingkah sok tau dengan perspektif yang amat Jakarta.

Saya masih terus-menerus belajar untuk menanggalkan bias-bias itu, untuk menjadi adil dan imparsial sejak dalam pikiran, juga menjadi rendah hati. Rasanya saya tak bisa juga melakukan liputan itu tanpa mereka. Dengan mereka semua, ada yang membantu dengan cara mengantar ke sana kemari, menyewakan dan mengoperasikan drone, menerjemahkan hasil wawancara dengan sesepuh adat, dan lainnya. Orang-orang di penginapan tempat saya tinggal juga amat ramah. Suatu hari mereka menyembelih babi dan memanggangnya, itu babi panggang terenak yang pernah saya makan.

Masih banyak cerita, tapi cukup sampai di sini saja (dulu).

Leave a comment