Epistemologi Ekofeminisme #2

Malam ini saya mendadak disinggahi rasa bersalah karena tak kunjung membuat tulisan lanjutan–dari Epistemologi Ekofeminisme yang awalnya saya rencanakan menjadi berseri. Terlalu bingung, terlalu malas. Biar saya jujur, saya memang kurang disiplin. Ini sifat yang kerap kali bikin saya menyesal. Saya kadang juga terlalu banyak berpikir: rasanya belum cukup, saya harus mencari bahan tulisan yang lain, saya harus begini begitu dulu, sampai akhirnya realisasinya nol besar. Hih. Sungguh saya benci sifat seperti ini.

Tapi baiklah, malam ini saya ingin menyambung cerita ini.

Saya mengakhiri tulisan sebelumnya dengan kalimat berikut.

“Tak lama kemudian, sebuah truk menepi. Seorang pria yang menjadi kenek truk tersebut turun dan mempersilakan kami bertiga menumpang. “

Saya baru tahu ternyata di bagian belakang kursi kemudi ada sebuah ruang lagi. Tempat ini biasanya dipakai sopir atau kenek tidur secara bergantian. Saya duduk di bangku di ruang belakang kemudi itu, sedangkan Tasya dan Wikan duduk di bangku depan. Selama perjalanan, sopir dan kenek mengajak mengobrol. Saya lupa muatan apa yang dibawa truk itu, tapi yang jelas mereka menuju Surabaya.

Kami turun di suatu tempat yang saya sudah lupa namanya. Masuk ke sebuah swalayan, membeli beberapa keperluan, lalu menunggu dijemput oleh tiga warga dari Sukolilo, Pati. Jemputan tiba, kami pun bertolak menuju rumah Mas Gunretno, salah satu tokoh masyarakat Samin yang tinggal di Sukolilo.

Sudah dini hari waktu itu. Mengobrol sebentar lalu istirahat. Beberapa jam kemudian kami mau ikut merayakan Sumpah Pemuda di Omah Sonokeling.

Omah berarti rumah. Sonokeling adalah jenis pohon. Rumah semacam pendopo terbuka itu dibangun dari kayu sonokeling, sesuai namanya. Letaknya ada di area milik PT Perhutani yang dikelola warga–kalau saya tidak salah ingat. Tapi lokasi hutan ini di pinggir jalan raya yang dilewati bus-bus Pati-Purwodadi.

Doa dan kidung melantun dalam acara itu. Ibu-ibu menembangkan lagu “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”. Ibu pertiwi sudah memberikan alam yang melimpah. Ibu pertiwi akan disakiti dengan keberadaan pabrik semen yang merusak lingkungan. Ibu pertiwi yang akan mengadili manusia yang menyakitinya suatu hari nanti.

Sedulur-sedulur dari Rembang datang. Puluhan, mungkin ratusan kawan-kawan punk juga datang. Bagaimana tidak, Marjinal akan tampil hari itu. Band punk yang digawangi Bang Mike dan kawan-kawan ini aktif mengawal perjuangan Kendeng menolak pabrik semen.

Kami yang hadir ikut menanam pohon. Semoga pohon-pohon itu tumbuh subur dan menjulang. Hari itu turun hujan.

Kita harus menanam kembali, hijau saat ini dan nanti

Kita harus menanam kembali, satu saja sangat berarti

*bersambung*

(Semoga tidak terlalu lama sampai muncul tulisan berikutnya)