Mengapa Saya Meninggalkan Jurnalisme

Saya terus-menerus menanyakan ini kepada diri sendiri selama satu setengah tahun terakhir. Mengapa saya, yang bercita-cita menjadi jurnalis sejak remaja, dan sering dianggap akan bertahan di profesi ini (beberapa kawan kampus sering menjuluki saya ‘jurnalis banget’), hengkang setelah lima tahun saja?

Saya masih ingat, pengetahuan pertama saya tentang jurnalisme dan kerja-kerja media datang dari serial Dunia Tanpa Koma yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Fauzi Baadila. Namun sebelum itu, saya sudah tahu kalau saya suka membaca dan menulis. Kebiasaan membaca sebenarnya terbentuk karena hanya buku yang kami punya. Ibu tak membelikan video game—entah karena tak ada uang, karena saya anak perempuan, atau karena keduanya. Lalu saya suka menulis cerita pendek, juga puisi-puisi. Suatu ketika tatkala ibu berulang tahun, saya menulis puisi di kertas plano untuknya.

Bertahun-tahun kemudian, jurnalisme menjadi passion saya. Ia menjadi mercusuar. Saya jadi punya tujuan, meski kerap kali jalannya mesti memutar.

Saya lalu kuliah jurnalistik setelah gap year satu tahun, meskipun awalnya sempat terpikir mengambil jurusan sastra. Kuliah dengan beasiswa dan uang saku seadanya (bahkan tak cukup), passion menulis itu ikut menopang saya bertahan hidup. Saya menulis reportase dan opini dan mengirimkannya ke media massa, menjadi penulis lepas, menyunting buku, dan sebagainya.

Selepas kuliah, saya beruntung sekali karena bisa bekerja sebagai jurnalis di media ternama—yang bukan hanya punya reputasi tapi independensinya pun teruji zaman. Saya masih ingat pula, panggilan telepon dari HRD bahwa saya lolos seluruh tes ketika itu datang hari Kamis petang—tatkala saya sedang ikut Aksi Kamisan Bandung.

Singkat cerita, saya menjalani hari-hari sebagai jurnalis. Hingga setelah 5 tahun 2 bulan, tibalah perpisahan itu. Ini salah satu parak paling berat dan menyedihkan bagi saya.

Menjadi jurnalis, menjadi jurnalis di sana, adalah identitas saya. Saya selalu merasa akan kehilangan sebagian diri yang saya suka jika melepaskan identitas itu. Perasaan tersebut barangkali imbas dari attachment saya yang kelewat besar pada profesi dan tempat kerja. Hidup saya adalah tentang pekerjaan, identitas saya adalah saya sebagai jurnalis. Lebih spesifiknya, jurnalis dari kantor itu.

Tanpa itu, saya merasa tidak berharga. Pada titik tertentu, kemelekatan itu tak tertahankan sampai saya harus berkonsultasi dengan psikolog.

Ketika akhirnya memutuskan pindah tempat bekerja, saya menyadari bahwa attachment itu mungkin tak lantas langsung luntur. Menanggalkan identitas sebagai jurnalis nyatanya membuat saya patah hati, hingga kini.

Dalam kesendirian, saya masih kerap mengutuk diri: mengapa tak bertahan lebih lama? Mengapa begitu cepat menyerah? Mengapa tak bersabar? Begitu banyak ‘seandainya’ yang menyesaki kepala, berujung ratap dan isak yang saya simpan dalam senyap.

Namun tiap kali merindukan pekerjaan yang lalu, saya berusaha mengingat bahwa saya memang tak punya kemewahan untuk bertahan. Saya ini breadwinner, apalagi setelah seorang kakak yang sebelumnya berbagi beban ini pergi untuk selamanya—meninggalkan duka yang rasanya tak akan pernah habis dicicil seumur hidup. (Suatu saat, jika sanggup, mungkin saya akan menulis obituari untuknya).

Situasi ini tak memungkinkan untuk tetap menekuni profesi jurnalis. Iya, ini tentang upah. Saya akan selamanya marah pada sistem yang membuat jurnalis tak mendapat upah layak. Meski upah yang saya dapat kala itu tak rendah-rendah amat (banyak kolega jurnalis yang situasinya lebih parah), hitungannya tetap tak akan cukup untuk mengangsur dan merencanakan hidup yang lebih baik—bukan semata untuk saya sendiri tapi juga untuk ibu dan para keponakan.

Saya tak punya utang penjelasan terhadap siapa pun. Namun saya menulis ini untuk mencoba mengingat kembali apa alasan saya pergi, mengapa saya meninggalkan jurnalisme dan ‘rumah’ itu. Dengan begitu, saya berharap bisa sedikit memaafkan diri sendiri.

Suatu Agustus di Sumba Timur

Pertengahan Agustus tahun lalu, saya berada di Sumba Timur, NTT. Menginap di sebuah tempat berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Waingapu atau kurang 20 menit perjalanan dengan motor atau mobil. Dari sana, saya mondar-mandir ke beberapa desa di bagian timur, seperti Wanga (yang terdekat dari Waingapu), Patawang, Melolo, hingga Pahunga Lodu. Dalam perjalanan ke desa-desa yang berjarak sekitar 1-3 jam itu, saya ditemani seorang Rambu, beberapa Umbu, dan beberapa anak muda. Kami menumpangi mobil—yang saya sudah lupa mereknya apa—tapi yang pasti double cabin warna hitam.

Kedatangan ke Sumba Timur itu dalam rangka sebuah liputan tentang perjuangan masyarakat adat Marapu melawan perusahaan tebu yang merampas tanah adat tempat ritual mereka. Barangkali ini cerita yang jamak terdengar di nusantara ini, tapi bukan berarti ia kehilangan arti dan relevansi. Apalagi, mereka melawan perusahaan milik orang kaya, besar, dan terkenal di negeri ini. Saya tidak akan membahasnya di sini, sebab cerita selengkapnya sudah terpublikasi pada September 2020.

Saya lebih ingin cerita tentang perjalanan di sana, hal-hal yang tak terekam dalam tulisan pekerjaan. Ini sekadar untuk merawat ingatan saya sendiri yang lama-lama niscaya memudar.

Yang bikin agak menyesal, lebih dari satu pekan saya di sana memang benar-benar habis untuk bekerja. Saya tidak sempat melihat sunset di pantai atau menikmati sepi di hutan—seperti ajakan kenalan di sana. Saya cuma sempat menginjak Pantai Londa Lima ketika hari sudah malam. Waktu itu hari Sabtu, dua hari sebelum saya kembali ke Jakarta. Kami baru kembali dari Pahunga Lodu dan Melolo. Di Melolo, kami menemui narasumber kunci, mantan raja setempat yang sudah sangat sepuh dan tak bisa lagi berkomunikasi. Untungnya, anaknya bersedia menerima kami.

Sudah petang waktu kami meninggalkan Melolo. Seorang Umbu sempat menyarankan untuk mampir ke Pantai Walakiri. Namun, beberapa anggota rombongan lainnya tak sepakat karena langit sudah gelap, tak ada yang bisa dilihat, katanya. Umbu itu pun tertidur di perjalanan hingga kami lanjut saja sampai tempat tinggal. Sebagai gantinya, saya bilang ingin beli eskrim yang enak di Waingapu. Mungkin kasihan kepada saya yang tak sempat pelesir, sembari menemani mencari Magnum, dia mengarahkan driver ke Pantai Londa Lima.

Saya senang akhirnya menginjak pasir pantai dan mendengar suara ombak. Meski sebenarnya saya takut pada laut, apalagi saat gelap, rasanya tetap bahagia membiarkan kaki basah oleh sisa ombak yang menepi dan mendengar derunya. Beberapa menit saja kami di sana sebelum akhirnya kembali.

***

Saya berangkat dari Jakarta dengan penerbangan pagi. Sejak sekitar pukul 03.00 WIB saya sudah di Bandara Soekarno-Hatta, sempat makan mie instan dan tertidur-tidur di kursi tunggu. Dunia sudah dilanda pagebluk, saya pergi berbekal hasil rapid test (ketika itu masih menjadi alat testing meski sudah banyak yang bilang tak akurat), memakai masker, dan face-shield dari maskapai. Saya mengenakan sepatu berkelir pink dan celana merah Eiger, kaus garis-garis, dengan rambut pendek yang saya potong sendiri malam sebelumnya karena tak sempat ke salon.

Pesawat Jakarta-Bali cukup menerapkan protokol jarak satu kursi. Namun dari Ngurah Rai ke Umbu Mehang Kunda, tak ada jaga jarak di dalam pesawat. Memang pesawatnya jenis baling-baling yang lebih kecil. Saya menunggu beberapa waktu hingga jemputan tiba. Cuaca sangat cerah dan matahari di atas kepala.

Begitu Rambu yang menjemput tiba, kami makan di Rumah Makan Jawa di Waingapu. Rambu seorang yang sangat ramah, tak canggung mengobrol dengannya meski baru bertemu. Ia meminta saya tak menginap di hotel sekitar Waingapu karena khawatir soal keamanan.

Sebelum mengantar ke tempat saya menginap, Rambu mengajak ke kebun seorang Abang—lagi-lagi saya lupa nama tempatnya. Kami melihat kebun sayur di sebuah cekungan antar bukit-bukit. Saya ingat bunga kol yang merebak dengan indahnya. Lalu kami ke pondokan atau semacam rumah (karena ukurannya cukup besar) milik abang tersebut, masih di kawasan itu. Kami makan jagung rebus yang manis sembari merokok.

Sampai di sini saya lupa, apakah kebun itu dulu yang kami kunjungi atau rumah seorang Umbu yang juga anggota Dewan di Waingapu. Kalau di sana, saya disuguhi sirih pinang dan kopi hitam. Saya belajar mengunyah sirih pinang selama di Sumba Timur, dan bersyukur tak pernah mabuk karena itu 😀

(Setelah saya lihat galeri foto di ponsel–ternyata saya ke rumah Umbu anggota Dewan terlebih dulu sebelum ke kebun sayuran. Saya mengecek ponsel–yang sudah berjam-jam saya hindari agar tak terlalu adiktif–karena ingin menyelipkan beberapa foto.)

Liputan baru dimulai hari-hari setelahnya, tanpa jeda. Saya bangun pagi untuk bersiap-siap sembari menunggu yang lain. Kalau akan ke desa atau ke hutan, biasanya saya sudah mandi malamnya agar tinggal membasuh muka dan menggosok gigi pagi harinya. Ini karena saya punya masalah tak bisa mandi dengan cepat.

Karena pergi dalam rombongan, memang pergerakan tak bisa secepat yang saya bayangkan. Namun tak apa, saya merasa sangat banyak dibantu. Saya juga belajar banyak dari mereka semua. Jujur, setiap kali bertemu masyarakat adat saya selalu was-was. Saya takut tanpa sadar berbicara atau bertingkah sok tau dengan perspektif yang amat Jakarta.

Saya masih terus-menerus belajar untuk menanggalkan bias-bias itu, untuk menjadi adil dan imparsial sejak dalam pikiran, juga menjadi rendah hati. Rasanya saya tak bisa juga melakukan liputan itu tanpa mereka. Dengan mereka semua, ada yang membantu dengan cara mengantar ke sana kemari, menyewakan dan mengoperasikan drone, menerjemahkan hasil wawancara dengan sesepuh adat, dan lainnya. Orang-orang di penginapan tempat saya tinggal juga amat ramah. Suatu hari mereka menyembelih babi dan memanggangnya, itu babi panggang terenak yang pernah saya makan.

Masih banyak cerita, tapi cukup sampai di sini saja (dulu).

Musim Rasa Takut

Rasa takut itu datang kembali. Ibarat tiba musim, barangkali kini saatnya setelah ia berkeliling. Terlalu banyak yang saya pikirkan hari-hari ini, seperti tiga dan sembilan tahun silam mungkin. Setiap kali rasa jeri datang ketika hidup di persimpangan, gamang memutuskan arah.

Ini saat saya mengingat diri sebenarnya begitu rapuh. Trauma masa lampau menyeruak, mengungkit luka. Rasa tidak beruntung itu muncul dan susah payah saya berusaha melipur lara. Tiba-tiba terkenang jelas pikiran masa kanak-kanak ketika saya bertanya mengapa dilahirkan di dunia–kala itu sambil meraba kulit lengan yang anehnya terasa asing seperti bukan tubuh sendiri.

Kini saya sudah di usia ketika Kurt Cobain memilih mengakhiri hidupnya. Saya tak berniat mengikuti jejaknya. Saya bukan siapa-siapa untuk bisa memilih better to burn out than to fade away. Hanya saja, saya mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini.

Apakah bisa hidup berguna bagi orang lain–meski sedikit saja–lewat pekerjaan yang saya geluti? Apakah bisa pergi ke tempat-tempat impian? Apakah bisa hidup cukup hingga tak perlu khawatir akan hari esok?

Saya kerap merasa keinginan untuk bermanfaat itu amatlah semu–sesuatu yang lebih didasari ego ketimbang niatan tulus. Sampai sekarang, keputusan saya akan hasrat ini pun belum sepenuhnya terurai.

Aduh Tuhan. Mengapa kesusahan sudah terlihat padahal belum terjadi? Tahun depan sudah terasa tak akan gampang. Sedang saya di sini bertanya-tanya bagaimana harus bertahan.

Ini hari saya merasa begitu sepi, dalam arti yang sebenar-benarnya. Saya sendirian di kosan, jalanan depan pun lengang. Padahal biasanya banyak anak bermain dengan berisik, kadang hingga larut malam, yang juga kadang bikin saya kesal.

Ini hari saya merasa begitu putus asa. Tak ada tempat mengadu dan berbagi keluh kesah. Entah mengapa hari ini seperti tak ada yang menyediakan dirinya untuk mendengar. Padahal biasanya semesta selalu mengirimkan teman bicara.

Ini hari saya begitu kecewa. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada diri saya. Kalau ada ucapan-ucapan yang menyakitkan dari orang, itu bukan mereka yang salah. Namun semata karena saya memang payah.

Ini hari saya begitu ingin hilang dan pergi dari riuh sekitar dan lesap saja ke dalam senyap.

Kidung Gereja

Awalnya tak terpikir lagu Ndherek Dewi Maria bisa membuat menangis, apalagi sembari terkenang betapa ibu menyukai tembang ini. Ibu sering bercerita selalu mbrebes mili setiap menyenandungkan kidung tersebut. Mungkin di malam-malamnya yang sunyi atau kala beratnya hidup seperti tak tertanggung.

Nadyan manah getera, dipun goda setan. Nanging batos engetnya, wonten pitulungan. Wit sang putri Maria, mangsa tega anilar…

Meski hati gemetar digoda setan. Namun dalam hati teringat, ada pertolongan. Sebab sang putri Maria, tak mungkin tega meninggalkan…

Mungkin ibu tak tahu lagu ini juga menemani anaknya di saat tak ada lagi tempat mengadu. Meski tanpa Madah Bakti, Puji Syukur, atau Kidung Adi, hanya bertemankan…..Youtube.

Maka jadilah lagu-lagu itu katarsis yang baru. Sembari bersenandung, mengingat masa kecil ketika setiap minggu pergi ke gereja bersama ibu. Hari-hari yang rasanya sudah begitu jauh.

Sekitar kelas 4 SD, saya pernah menjadi solis yang membawakan Mazmur. Bukan karena bersuara merdu, cuma karena katanya saya yang paling berani di antara teman-teman sekolah minggu yang lain. Saya masih ingat, Mazmurnya Tuhan mendengarkan doa orang beriman.

Lalu ikut koor waktu SMP, bahkan menjadi dirigent. Padahal kalau dipikir-pikir tempo saya sering meleset. Kadang sedikit kecewa menyelinap di hati, ingin bisa menyanyi sedikit saja. Mungkin saya bisa menjadi solis yang membawakan bacaan dari Kitab Kejadian, yang diiringi senandung ‘Maka jadilah petang dan pagi, hari pertama’ hingga ‘Maka jadilah petang dan pagi hari ini‘.

Ah, jadi merindukan gereja dan lagu-lagunya justru di saat tak bisa pergi di tengah pandemi ini. Selepas dari sekolah menengah atas, saya sebenarnya bukan lagi orang yang taat. Beberapa tahun terakhir ini cuma menginjak gereja di Malam Paskah dan Natal.

Pekan Suci pun sering bolong-bolong, tak pernah berpuasa atau pantang, tak pernah lagi mengaku dosa. Bahkan pernah pada suatu Malam Natal, saya memilih pergi ke Cisarua untuk mengunjungi seorang teman.

Namun kidung-kidung gereja ini akan selalu menjadi teman saya dalam gelisah yang tak terbagi dengan orang lain. Dalam melodi yang teduh, dalam lirik liris yang puitis.

Tuhan Dikau naungan hidupku, indahkan doaku. Bila hati mengarah pada-Mu, limpahkan rahmat-Mu. Aku s’lalu diincar bahaya, sampai akhir nanti Tuhanlah perisaiku.

Berbagi Sebentuk Sedih

Siapa mengira sebotol Heineken dan segelas whisky bisa mengantarkan kita sejauh ini? Siapa menyangka perbincangan ngalor ngidul tentang diri, mimpi, buku, dan masa lalu ternyata menjadi pintu untuk kita bersama, setidaknya sampai hampir 24 bulan ini?

Tidak aku, dan mungkin juga kau, membayangkan hari-hari yang akan kita lewati setelah itu. Tertawa, menangis, bersedih, mencinta, dan bertumbuh seiring usia yang perlahan tapi pasti menua.

Aku masih ingat kau menari Maumere di teras depan kamar indekosmu waktu itu. Lincah dan menyenangkan dipandang. Aku juga masih ingat pertama kali melihat kau menangis kala aku membacakan sajak Rendra, Nyanyian Angsa (Pelacur Maria Zaitun).

Atau saat kau menangis ketika mendengar kabar sedih dari rumah, saat ibumu menangis atas suatu masalah. Kau berbaring membelakangiku, menghadap tembok, tanganmu mengepal dan siap memukul beton di depanmu.

Aku juga ingat jelas bagaimana kau duduk tepekur berdoa di depan jenazah papa. Dengan kemeja kotak-kotak, rambut terikat, tangan tengadah. Aku bersyukur atas keberadaanmu setiap kali bayangan peristiwa itu melintas di ingatan.

Kita sama-sama manusia yang rumit, dengan kerumitan hidup masing-masing yang merentang panjang sebelum pertemuan ini. Kita sama-sama dibesarkan dengan banyak hal tak mengenakkan.

Barangkali itu yang membuat kita bisa bertahan sampai sekarang. Semata karena kita berbagi sedih yang kita bawa masing-masing. Meski tak sebentuk, tapi memiliki kesamaan.

Dan kita berjalan saja masih, terus berjalan. Meskipun kita tak tahu berapa jauh ujung jalan ini nanti. Kata Sisir Tanah.

Seberapa kokoh, seberapa yakin, barangkali cuma diri masing-masing yang tahu. Barangkali diam-diam rasa takut menyelinap. Barangkali pula sebenarnya kita rapat-rapat menyimpan gamang.

Aku tak tahu mana yang akan lebih mudah. Hidup bersama atau tanpa kau. Yang aku tahu hidup memang sudah tidak mudah di hari-hari yang lalu. Mengapa juga sekarang mesti berharap begitu?

Kalau ada yang boleh diharapkan, mungkin itu adalah kejujuran yang tak habis oleh apa pun. Aku pada kau dan kau padaku. Atau setidaknya pada nurani masing-masing.

Kutulis ini pada suatu tengah malam, di perayaan hari lahirmu. Selamat ulang tahun.

Epistemologi Ekofeminisme #2

Malam ini saya mendadak disinggahi rasa bersalah karena tak kunjung membuat tulisan lanjutan–dari Epistemologi Ekofeminisme yang awalnya saya rencanakan menjadi berseri. Terlalu bingung, terlalu malas. Biar saya jujur, saya memang kurang disiplin. Ini sifat yang kerap kali bikin saya menyesal. Saya kadang juga terlalu banyak berpikir: rasanya belum cukup, saya harus mencari bahan tulisan yang lain, saya harus begini begitu dulu, sampai akhirnya realisasinya nol besar. Hih. Sungguh saya benci sifat seperti ini.

Tapi baiklah, malam ini saya ingin menyambung cerita ini.

Saya mengakhiri tulisan sebelumnya dengan kalimat berikut.

“Tak lama kemudian, sebuah truk menepi. Seorang pria yang menjadi kenek truk tersebut turun dan mempersilakan kami bertiga menumpang. “

Saya baru tahu ternyata di bagian belakang kursi kemudi ada sebuah ruang lagi. Tempat ini biasanya dipakai sopir atau kenek tidur secara bergantian. Saya duduk di bangku di ruang belakang kemudi itu, sedangkan Tasya dan Wikan duduk di bangku depan. Selama perjalanan, sopir dan kenek mengajak mengobrol. Saya lupa muatan apa yang dibawa truk itu, tapi yang jelas mereka menuju Surabaya.

Kami turun di suatu tempat yang saya sudah lupa namanya. Masuk ke sebuah swalayan, membeli beberapa keperluan, lalu menunggu dijemput oleh tiga warga dari Sukolilo, Pati. Jemputan tiba, kami pun bertolak menuju rumah Mas Gunretno, salah satu tokoh masyarakat Samin yang tinggal di Sukolilo.

Sudah dini hari waktu itu. Mengobrol sebentar lalu istirahat. Beberapa jam kemudian kami mau ikut merayakan Sumpah Pemuda di Omah Sonokeling.

Omah berarti rumah. Sonokeling adalah jenis pohon. Rumah semacam pendopo terbuka itu dibangun dari kayu sonokeling, sesuai namanya. Letaknya ada di area milik PT Perhutani yang dikelola warga–kalau saya tidak salah ingat. Tapi lokasi hutan ini di pinggir jalan raya yang dilewati bus-bus Pati-Purwodadi.

Doa dan kidung melantun dalam acara itu. Ibu-ibu menembangkan lagu “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”. Ibu pertiwi sudah memberikan alam yang melimpah. Ibu pertiwi akan disakiti dengan keberadaan pabrik semen yang merusak lingkungan. Ibu pertiwi yang akan mengadili manusia yang menyakitinya suatu hari nanti.

Sedulur-sedulur dari Rembang datang. Puluhan, mungkin ratusan kawan-kawan punk juga datang. Bagaimana tidak, Marjinal akan tampil hari itu. Band punk yang digawangi Bang Mike dan kawan-kawan ini aktif mengawal perjuangan Kendeng menolak pabrik semen.

Kami yang hadir ikut menanam pohon. Semoga pohon-pohon itu tumbuh subur dan menjulang. Hari itu turun hujan.

Kita harus menanam kembali, hijau saat ini dan nanti

Kita harus menanam kembali, satu saja sangat berarti

*bersambung*

(Semoga tidak terlalu lama sampai muncul tulisan berikutnya)

Para Elite yang Intim dan Mengapa Saya Menuliskannya

Suatu sore di Kafe Alibi Cikini, saya pernah berdebat dengan seorang senior tentang mengapa wartawan perlu menulis gimmick para elite politik. Dia mengkritik saya lantaran menulis guyon antara dua petinggi partai yang berbeda haluan politik. Menurut kawan saya itu, tingkah keduanya gimmick belaka dan tak penting untuk jadi berita.

Tentu beda pendapat adalah hal lumrah dan tak perlu bertengkar siapa yang benar. Kala itu saya kemukakan alasan–dan alasan ini masih saya yakini masuk akal sampai hari ini.

Tulisan saya waktu itu menceritakan bagaimana elite dua partai berkelakar dalam sebuah forum. Keduanya lumayan jarang tampil bersama di depan publik, setidaknya yang saya pernah saya ikuti atau baca. Menurut saya, kelakar mereka waktu itu juga bukan sekadar gimmick seperti polah para politikus yang memang dikenal gemar melakukan gimmick–sampai gimmick mereka tak terhitung banyaknya dan sudah sering ditulis media.

Kedua politikus itu saling menggoda, tertawa merespons godaan satu sama lain, menepuk punggung, berbisik-bisik, saya sih lumayan kaget melihat momen itu. Saya pikir barangkali menarik jika pembaca dapat mengetahui betapa dua orang dari dua partai yang berseberangan bisa demikian dekat.

Oh, nanti dulu. Memang kedekatan para elite politik dan haha hihi mereka di balik layar sudah menjadi rahasia umum. Orang bisa saja mengatakan, “ah kan memang di belakang, mereka semua berteman!” Tapi bukankah menjadi berbeda jika saya dan anda melihat kedekatan itu di depan mata? Apa yang saya tuliskan kemudian menjadi bukti dari “pertemanan yang tak kelihatan tapi rahasia umum” itu.

Tulisan itu barangkali tak penting. Mungkin juga sama sekali tidak punya signifikansi. Mungkin saya sedikit naif dan berharap orang akan berpikir untuk tak bertikai karena politik setelah mengetahui bahwa toh para elite itu bersahabat. Tentu, kita sudah akrab dengan adagium “tak ada yang abadi dalam politik selain kepentingan”.

Namun, biarlah setiap peristiwa yang tertangkap mata dan tertulis memanjangkan ingatan kita ihwal itu. Setidaknya itu menjadi pengingat bagi diri saya sendiri dalam keseharian yang kadung menjadi rutinitas melelahkan. Setidaknya saya terus bisa berusaha menjaga nalar, tetap ajeg meski kadang harus berkompromi.

Barangkali itu adalah cara saya memberikan sedikit nilai tambah, di tengah dominannya pikiran sendiri bahwa apa yang saya kerjakan tak berguna. Bertugas di desk politik ternyata begini melelahkan (dan menggerogoti?). Namun lantaran tak mungkin kabur dari tugas, saya cuma bisa mendaras doa dan harap: semoga tetap waras.

Membangun Narasi

Banyak momen saya menyesal atas pilihan yang saya buat, terutama saat-saat saya menyadari pilihan itu membawa saya pada situasi yang amat korosif. Tak berguna bagi orang lain, tak membuat diri sendiri bertumbuh.

Dulu saya punya seorang patron–setidaknya saya menganggapnya patron dalam hidup dan kerja jurnalistik yang saya lakoni. Dia pernah mengatakan, mulailah dari desk ekonomi, lalu ke megapolitan. Kamu akan belajar logis dan mereportase dengan baik, begitu katanya. Jangan memulai dari politik, karena itu sangat korosif.

Namun karena beberapa alasan saya malah terjerumus kepada hal yang ketiga ini. Saya memang tak memilih dua yang lainnya karena pertimbangan profesional–saya tak bisa menceritakannya di sini.

Barangkali sudah satu tahun saya di desk ini, mengerjakan hal-hal yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Sesuatu yang cenderung saya hindari sebenarnya. Rasa muak kerap kali datang dan menyiksa saya dengan penyesalan: mengapa saya memilih ini? Mengapa saya harus menampung ludah orang? Mengapa saya harus membiarkan akal sehat saya dan publik diporak-porandakan oleh mereka-mereka itu yang berbuih mulutnya demi kekuasaan?

Seorang senior pernah mengatakan, politik adalah seni meraih dan mempertahankan kekuasaan. Tak perlu terbawa perasaan dan gumun pada satu figur atau kelompok, toh mereka tertawa-tertawa saja sembari menonton para pendukungnya bertikai. Nasihat itu tetap saya ingat, meski yang mengucapkannya sudah memilih laku sebaliknya dengan bergabung ke salah satu kubu.

Belakangan saya makin kerap bertanya-tanya apa ini yang saya ingin lakukan? I think it’s not my cup of tea. Saya menyadari sepertinya saya tak akan bisa maksimal di sini; saya tak punya privilege seperti dua senior saya yang memiliki kemampuan dekat dengan para politisi, mendapatkan cerita-cerita menarik, lobi-lobi kotor, manuver-manuver licik, dan sebagainya. Dan toh, apakah ini yang saya inginkan dulu ketika membayangkan profesi wartawan?

Saya bisa tegas menjawab bukan. Dulu, saya begitu mengidolakan seorang jurnalis perempuan yang kerap menulis ihwal isu-isu kemanusiaan, perempuan, anak, masyarakat adat, lingkungan, orang-orang minoritas dan terpinggirkan. Perempuan itu dikenal konsisten menulis dengan tema-tema di atas. Dan apa yang mendefinisikan diri saya, seorang wartawan, selain isu-isu yang saya tulis?

Sekarang saya cuma terjebak pada rutinitas dan politik elektoral yang menyebalkan. Begitu terkikis, rapuh, tertekan, sampai kerap menangis tiba-tiba. Memendam kesal pada atasan yang menurut saya acap lupa pada apa yang seharusnya menjadi isu, pada beban kerja dan lelah yang sebenarnya tidak berarti banyak untuk masyarakat–cuma menyumbang pada klik dan share dan iklan mungkin, lalu menangisi mimpi dan idealisme masa mahasiswa saya yang sedang digerus kenyataan. Barangkali itu semua sudah hilang kalau saya tak mengingatnya barang sedikit saja, seperti malam ini kala saya menulis dengan berkaca-kaca.

Pekan lalu, saya mengobrol dengan tiga teman dan seorang dosen. Dosen kami itu bicara tentang membangun narasi–sesuatu yang kami kerap lupa, katanya. Saya pikir benar juga. Selama ini kami berempat sepertinya cuma bekerja tanpa memiliki visi, lantas bagaimana mungkin membangun narasi? Jurnalisme menjadi rutinitas, pekerjaan agar dapat uang yang tak berbeda dengan pekerjaan lainnya. Bukan saya menganggap kerja jurnalisme lebih baik atau lebih berjasa ketimbang profesi lain. Jelas tidak, toh dalam praktiknya begitu banyak cacat dan noda.

Namun, saya juga masih ingat halaman-halaman dan kalimat-kalimat yang saya baca dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Untuk apa jurnalisme ada? Kita bisa berdebat soal metodologi, tapi untuk apa sebenarnya jurnalisme ada? Untuk apa kalau toh kita, saya, para jurnalis, memaklumi praktik-praktik kotor orang-orang yang punya kuasa dengan kalimat-kalimat “memang begitu sudah biasa”, “tidak ada yang bisa kita lakukan”, “itu sudah rahasia umum”, dsb dsb? Buat apa?

Setelah Ditolak Dokter dan Dicemooh Tetangga

Tulisan ini saya buat setelah liputan bersama Save the Children di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saya menemui sejumlah anak-anak penyandang disabilitas yang tergabung dalam kelompok-kelompok Rehabilitas Berbasis Masyarakat (RBM). RBM terbentuk sebagai program dari Save the Children, bekerja sama dengan Lakpesdam Nahdlatul Ulama.

Terlalu banyak cerita yang saya dapat. Mayoritas tentang bagaimana anak-anak disabilitas itu, yang kebanyakan dari keluarga kurang mampu, kembali bersekolah. Kendati pemerintah sudah mencanangkan pendidikan inklusi, usaha mereka kembali ke sekolah tak berarti mudah. Mereka mesti berjuang lebih dulu melawan stigma, mengumpulkan sedikit demi sedikit rasa berani dan percaya diri. 

Berikut salah satu tulisan yang saya buat. Tulisan ini tidak jadi tayang di media tempat saya bekerja. Jadi saya tulis di sini saja.

=========================================

Jakarta-Lia Ruhaliah, 45 tahun, masih ingat kala dia mendatangi seorang dokter bedah 17 tahun silam. Lia membawa Jajang Sudrajat, anaknya yang tunadaksa dan sakit hernia untuk operasi. Sang dokter sempat memerintahkan kepada seorang perawat untuk mempersiapkan operasi.

Namun, dokter itu berubah pikiran dalam sekejap setelah Lia menanyakan besar biaya yang diperlukan.”Suster, udah aja enggak jadi,” kata Lia menirukan dokter tersebut.

Lia mengaku membawa uang Rp 4 juta hari itu. Dia ingin memastikan keperluan biaya agar dapat mencari pinjaman jika masih kurang.

Lia trauma mendatangi dokter mana pun sejak saat itu. Namun, sepuluh tahun kemudian dia menyerah dan membawa Jajang ke rumah sakit. Dokter mengatakan, hernia yang dialami Jajang hampir saja menjadi tumor.

Tempo menjumpai Lia di Kelurahan Panglayungan, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, pada Rabu, 29 Agustus 2018 lalu. Dia merupakan salah satu orang tua yang tergabung dalam Forum Komunikasi Anak dengan Disabilitas. Selain Jajang, anak kedua Lia, Abdan Syakur, 4 tahun, juga seorang tunadaksa.

Kesedihan datang bertubi-tubi untuk ibu rumah tangga ini. Dia juga mengalami dicemooh masyarakat akibat kondisi anaknya yang disabilitas. Kata-kata hinaan dari para tetangga sering dia dengar langsung.

Namun, Abdan boleh dibilang lebih beruntung. Belajar dari pengalaman pertama sang kakak, Lia buru-buru membawa Abdan untuk operasi sejak usianya masih 2,5 tahun. Abdan juga menerima terapi yang disediakan oleh komunitas Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) yang ada di Panglayungan.

Secara berkala, RBM Panglayungan menyediakan layanan terapi gratis untuk anak-anak disabilitas yang ada di wilayah tersebut. Para orang tua dari anak disabilitas biasanya juga diajari untuk melakukan terapi secara mandiri di rumah.

Abdan sudah merasakan dampak dari terapi itu. Kata Lia, kedua telapak kaki Abdan kini bisa menapak sempurna. Abdan juga lebih percaya diri dalam bergaul dengan orang lain. Padahal, sang bocah sebelumnya selalu merengek minta pulang tiap kali dibawa keluar rumah.

“Dia bilang, mama uwih (mama pulang). Dia malu, sudah tahu kalau beda sama yang lain,” kata Lia bercerita.

Lia sekaligus menjadi potret keluarga dengan anak-anak disabilitas. Di Kelurahan Panglayungan terdapat setidaknya 42 anak-anak disabilitas. Ketua RBM Kelurahan Panglayungan, Waryono, mengatakan, kebanyakan anak-anak disabilitas di daerahnya berasal dari keluarga tak mampu.

“Kebanyakan orang tuanya bekerja jadi serabutan,” kata Waryono.

Lia misalnya, merupakan ibu rumah tangga. Suaminya, Dindin Rubaedin, bekerja sebagai satpam di sebuah kompleks perumahan dengan gaji Rp 800 ribu per bulan. Sebesar Rp 500 ribu dari uang tersebut digunakan untuk membayar sewa rumah yang mereka tinggali.

Meski begitu, Lia tak kehilangan harapan untuk anak-anaknya. Jajang kini aktif mengikuti pembinaan yang diselenggarakan Dinas Sosial Jawa Barat. Adapun Abdan juga punya peluang dengan diselenggarakannya pendidikan inklusif di Kota Tasikmalaya.

Kota Tasikmalaya memulai penyelenggaraan pendidikan inklusif sejak 2014. Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya menunjuk 21 sekolah dasar, 13 sekolah menengah pertama, dan 1 sekolah menengah atas sebagai penyelenggara pendidikan inklusif.

Belakangan, kebijakan ini juga diperkuat melalui Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tim perumus kebijakan PPDB Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya Dadang Yudhistira mengatakan, Dinas mewajibkan setiap SD dan SMP menerima siswa-siswa disabilitas yang mendaftar ke sekolah tersebut. Kuota yang ditetapkan ialah 3 siswa disabilitas untuk PPDB SD dan 1 siswa per rombongan belajar untuk PPDB SMP.

Dinas Pendidikan juga memiliki anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tahun ini, alokasi dananya sebesar Rp 59 juta. Dadang mengatakan, anggaran ini akan dikelola untuk pemberdayaan sumber daya manusia, di antaranya pelatihan guru.

Angka Rp 59 juta ini berkurang jauh dibandingkan anggaran tahun 2017 sebesar Rp 300 juta. Dadang beralasan, pengurangan anggaran terjadi lantaran banyaknya pos program yang harus dibiayai pada tahun ini. Kendati begitu, dia mengatakan Pemerintah Kota Tasikmalaya berkomitmen memperluas penyelenggaraan pendidikan inklusif di kota santri ini.

Dadang juga mendorong terbentuknya Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat di 69 kelurahan. Dadang mengaku sudah mengusulkan ke Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman untuk menginstruksikan pembentukan RBM ini kepada jajarannya di kecamatan dan kelurahan.

“Biar nanti kalau sudah ada bisa di-launching,” kata dia.