Saya terus-menerus menanyakan ini kepada diri sendiri selama satu setengah tahun terakhir. Mengapa saya, yang bercita-cita menjadi jurnalis sejak remaja, dan sering dianggap akan bertahan di profesi ini (beberapa kawan kampus sering menjuluki saya ‘jurnalis banget’), hengkang setelah lima tahun saja?
Saya masih ingat, pengetahuan pertama saya tentang jurnalisme dan kerja-kerja media datang dari serial Dunia Tanpa Koma yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Fauzi Baadila. Namun sebelum itu, saya sudah tahu kalau saya suka membaca dan menulis. Kebiasaan membaca sebenarnya terbentuk karena hanya buku yang kami punya. Ibu tak membelikan video game—entah karena tak ada uang, karena saya anak perempuan, atau karena keduanya. Lalu saya suka menulis cerita pendek, juga puisi-puisi. Suatu ketika tatkala ibu berulang tahun, saya menulis puisi di kertas plano untuknya.
Bertahun-tahun kemudian, jurnalisme menjadi passion saya. Ia menjadi mercusuar. Saya jadi punya tujuan, meski kerap kali jalannya mesti memutar.
Saya lalu kuliah jurnalistik setelah gap year satu tahun, meskipun awalnya sempat terpikir mengambil jurusan sastra. Kuliah dengan beasiswa dan uang saku seadanya (bahkan tak cukup), passion menulis itu ikut menopang saya bertahan hidup. Saya menulis reportase dan opini dan mengirimkannya ke media massa, menjadi penulis lepas, menyunting buku, dan sebagainya.
Selepas kuliah, saya beruntung sekali karena bisa bekerja sebagai jurnalis di media ternama—yang bukan hanya punya reputasi tapi independensinya pun teruji zaman. Saya masih ingat pula, panggilan telepon dari HRD bahwa saya lolos seluruh tes ketika itu datang hari Kamis petang—tatkala saya sedang ikut Aksi Kamisan Bandung.
Singkat cerita, saya menjalani hari-hari sebagai jurnalis. Hingga setelah 5 tahun 2 bulan, tibalah perpisahan itu. Ini salah satu parak paling berat dan menyedihkan bagi saya.
Menjadi jurnalis, menjadi jurnalis di sana, adalah identitas saya. Saya selalu merasa akan kehilangan sebagian diri yang saya suka jika melepaskan identitas itu. Perasaan tersebut barangkali imbas dari attachment saya yang kelewat besar pada profesi dan tempat kerja. Hidup saya adalah tentang pekerjaan, identitas saya adalah saya sebagai jurnalis. Lebih spesifiknya, jurnalis dari kantor itu.
Tanpa itu, saya merasa tidak berharga. Pada titik tertentu, kemelekatan itu tak tertahankan sampai saya harus berkonsultasi dengan psikolog.
Ketika akhirnya memutuskan pindah tempat bekerja, saya menyadari bahwa attachment itu mungkin tak lantas langsung luntur. Menanggalkan identitas sebagai jurnalis nyatanya membuat saya patah hati, hingga kini.
Dalam kesendirian, saya masih kerap mengutuk diri: mengapa tak bertahan lebih lama? Mengapa begitu cepat menyerah? Mengapa tak bersabar? Begitu banyak ‘seandainya’ yang menyesaki kepala, berujung ratap dan isak yang saya simpan dalam senyap.
Namun tiap kali merindukan pekerjaan yang lalu, saya berusaha mengingat bahwa saya memang tak punya kemewahan untuk bertahan. Saya ini breadwinner, apalagi setelah seorang kakak yang sebelumnya berbagi beban ini pergi untuk selamanya—meninggalkan duka yang rasanya tak akan pernah habis dicicil seumur hidup. (Suatu saat, jika sanggup, mungkin saya akan menulis obituari untuknya).
Situasi ini tak memungkinkan untuk tetap menekuni profesi jurnalis. Iya, ini tentang upah. Saya akan selamanya marah pada sistem yang membuat jurnalis tak mendapat upah layak. Meski upah yang saya dapat kala itu tak rendah-rendah amat (banyak kolega jurnalis yang situasinya lebih parah), hitungannya tetap tak akan cukup untuk mengangsur dan merencanakan hidup yang lebih baik—bukan semata untuk saya sendiri tapi juga untuk ibu dan para keponakan.
Saya tak punya utang penjelasan terhadap siapa pun. Namun saya menulis ini untuk mencoba mengingat kembali apa alasan saya pergi, mengapa saya meninggalkan jurnalisme dan ‘rumah’ itu. Dengan begitu, saya berharap bisa sedikit memaafkan diri sendiri.