Ada hal lain yang perlu saya tuangkan sebelum melanjutkan cerita tentang Ekofeminisme yang seharusnya saya tulis dengan rajin itu. Saya butuh bercerita, tentang kamu, meski tak banyak yang boleh saya ceritakan.
Saya bingung bagaimana memulai, tapi mungkin ini relevan mengawali. Physically and mentally unstable. Itu yang saya rasakan beberapa waktu ke belakang. Puncaknya ketika dosen menyudutkan agar saya bisa memberikan rekomendasi yang sifatnya ‘legal dan struktural’ dari hasil penelitian, setelah terlalu lelah menjawab dan berargumen, sementara perbincangan hanya berputar-putar, saya meledak dalam tangis. Pertama kalinya membiarkan diri saya menunjukkan kerentanan yang sangat. Pada akhirnya saya mengatakan: siapa saya? Saya bukan siapa-siapa selain orang yang lebih banyak belajar ketimbang berkontribusi. Jelas saya tak lebih pintar dari mereka sendiri.
Banyak hal terjadi belakangan. Campur aduk saling berkelindan. Ketidakstabilan itu dan hambatan-hambatan lain, sampai pada rampungnya studi, keraguan bagaimana harus melanjutkan hidup, keharusan untuk segera pindah dari tempat kost–dan itu berarti berpisah dengan Kukis si anjing, dengan pohon bebuahan di halaman, dengan rumput hijau, dengan kolam lele, dengan sepetak alam hijau yang semakin sulit dijumpai di tengah kota.
Apa yang bisa saya harapkan hanyalah agar kebingungan ini berangsur pergi. Sebab saya butuh melanjutkan langkah, saya tak boleh lama tenggelam dalam pergulatan dan kesepian yang saya sendiri pun sukar mengerti. Kadang saya ingin menuding seseorang yang sedikit banyak membikin saya jadi begini. Albert Camus, mungkin? Atau kamu saja? Kamu yang hadir sebentar, tapi memengaruhi saya begitu besar. Membuat saya meredefinisi berbagai standar, menunda justifikasi, menikmati sepi, menjauhi hingar bingar dan kebanalan, dan hal-hal yang tidak bisa saya sebutkan secara gamblang. Saya begitu menikmati ada di dekatmu, mengobrol tentang apapun, mengagumi kecerdasan dan cara pandangmu setiap waktu, sesekali menentangmu, sambil terus menjaga kesadaran agar tidak menyukaimu lebih dari itu. Sebab saya tahu pasti, hal-hal apa yang tidak bisa membuat kamu menyukai saya lebih daripada sekadar menjadi teman minum kopi dan berdiskusi. Pun saya tidak mau menggadaikan itu demi sesuatu yang ‘lebih’, padahal fana, rapuh, dan dapat rusak kapan saja tanpa bisa diperbaiki kembali. Tidak. Saya telah banyak belajar mencukupkan diri, dan saya merasa sangat cukup dengan secangkir kopi dan obrolan. Meski kamu dan saya terbungkus saput dan cuma masing-masing kita yang paham.